Rabu, 16 Juli 2008

Ikhlas (bagian 2)

Untuk menjawab pertanyaan tentang ikhlas, saya sudah searching di internet dan menurut saya artikel dari Uti konsen U.M cukup pas untuk ditampilkan di sini. Berikut artikel Uti Konsen U.M yang berjudul Dahsyatnya Ikhlas tersebut:
"Semua manusia akan hancur, kecuali mereka yang berilmu. Setiap orang yang berilmu akan hancur, kecuali orang-orang yang beramal. Setiap orang yang beramal akan hancur, kecuali orang-orang yang ikhlas. Setiap orang yang ihklas akan selalu menghadapi godaan setan,"tutur Imam Al Ghazali.

Rasulullah SAW menceritakan ada seseorang yang hanya karena menyingkirkan sepucuk duri dari tengah jalan, maka kepadanya diganjar dengan rahmat oleh Allah SWT, sehingga meraih surga. Kok bisa begitu? Ternyata pada saat dia memungut duri itu, hatinya teramat ikhlas. Dia tidak ingin duri itu mencederai para pengguna jalan. Jadi jangan dianggap remeh satu amal yang nampak kecil yang bisa kita lakukan sepanjang niatnya ikhlas. Sebab siapa tahu karya kita seperti itu, insya Allah bisa disamakan seperti kisah si Pemungut Duri di atas. Bukankah Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya rahmat Allah, dekat kepada orang yang berbuat baik." Disini Allah tidak menyebut besar kecilnya perbuatan baik itu. Misalnya memadamkan lampu neon di rumah kita yang seharusnya tidak perlu menyala di siang hari. Atau memungut puntung rokok dan memasukannya ke dalam bak sampah. Atau menggunakan kertas yang seharusnya sudah dibuang untuk dijadikan kertas konsep. Juga ketika membuang sisa makanan, niatkan untuk makanan hewan atau ikan.

Nabi Mulia pernah mengisahkan tentang seorang wanita pemaksiat, tapi bisa diampuni dosanya dan diberikan rahmat oleh-Nya, lantaran memberi minum seekor anjing yang tengah kehausan. Wanita itu sangat empatik dengan penderitaan sang anjing, sehingga hatinya tergugah untuk memberinya minum, walaupun ia harus turun ke dalam sumur untuk mencedok air dengan menggunakan sepatunya.

Ketika Khalid bin Walid RA sedang memimpin satu peperangan dan kemenangan sudah hampir diperoleh, tiba-tiba datang surat "pemecatan" dari Khalifah Umar bin Khatab RA kepadanya, tanpa menyebutkan alasannya. Panglima Peang harus diserahkan kepada salah seorang anak buahnya yang jauh lebih yunior darinya. Perintah itu diterima Khalid tanpa reserve. Kini ia menjadi prajurit biasa. Namun, semangat juangnya tidak berkurang sedikitpun. Usai peperangan, yang dimenangkan oleh kaum muslimin, salah seorang bertanya kepadanya: "Kenapa semangat juang Anda tidak kendor setelah jabatan Anda sebagai Panglima Perang diserahkan kepada anak buah Anda?" Dengan enteng Khalid bin Walid menjawab: "Saya berjuang bukan karena Umar, tapi karena Allah SWT". Begitu ikhlasnya Khalid bin Walid.

Simak pula keikhlasan Ali bin Abi Thalib RA. Pada saat perang tanding satu lawan satu, Ali berhasil menempati posisi yang amat menentukan kemenangannya. Pedang lawan sudah terlepas dari tangannya. Ali sudah berhasil menindih tubuh musuhnya. Ditangannya telah memegang sebilah pisau yang teramat tajam. Tapi belum sempat Ali menghunjamkan pisau itu ke tubuh lawannya, si musyrik itu meludahi wajah Ali. Sebagai manusia biasa, tentu kita bisa merasakan emosi Ali. Wajar kalau kemarahannya kian memuncak. Tapi bagaimana sikap menantu Rasulullah itu? Pisau yang ada ditangannya malah ia campakan dan hal ini membuat musuhnya merasa aneh dan bertanya apa sebabnya. Ali bin Abi Thalib menjawab: "Aku khawatir, aku membunuh kamu karena emosi amarahku dan bukan karena jihad membela agama Allah". Mendengar ungkapan Ali ini membuat lawannya mendapat hidayah dan mengucapkan dua kalimah syahadat. Masya Allah.

Keikhlasan dalam bekerja memang menjadi sorotan penting. Ulama terkenal Abi Qasimy al Qusyairi berkata: "Ikhlas adalah menjadikan tujuan taat satu-satunya hanyalah kepada Allah SWT. Dia ingin mendekatkan diri kepada Allah. Bukan untuk mendapat pujian".

Thabrani RA meriwayatkan. Satu hari mereka sedang duduk-duduk bersama Nabi SAW. Tiba-tiba dari kejauhan ada seorang pemuda yang tubuhnya nampak amat perkasa bekerja dengan penuh semangat. Diantara sahabat berkata : "Alangkah kasihan orang itu, seandainya kemudaan dan kekuatannya itu digunakan untuk berjihad tentu lebih baik". Mendengar ucapan sahabatnya ini, Rasulullah SAW bersabda : "Jangan berkata seperti itu. Sebab seseorang yang keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah bagi anaknya yang masih kecil, maka ia berusaha di jalan Allah. Jika ia keluar rumah bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itupun bekerja di jalan Allah. Tetapi apabila ia bekerja karena untuk pamer atau bermegah-megahan maka ia berada di jalan Syetan".

Makna dari penegasan Rasul akhir zaman itu bahwa orang yang bekerja keras secara ihsan menghidupi keluarganya disamakan dengan orang yang berperang di jalan Allah. Artinya jika ia meninggal disaat menunaikan pekerjaannya, maka matinya mati syahid. Karena itu, "seorang Staf yang sedang menginput data, tiba-tiba meninggal, maka ia mati syahid. Seseorang yang sedang melakukan kontrak penjualan mati kecelakaan juga mati syahid. Termasuk pula Direktur yang sedang menandatangani keputusan penting terserang stroke lalu mati, ia mati syahid. Semuanya, disamakan dengan mereka yang pergi ke medan laga membela agama dengan satu syarat, ihsan". Demikian antara lain tulis Budi Handrianto dalam bukunya Kebeningan Hati & Pikiran.

Dengan prinsip surah Al Ashr, seyogianya setiap muslim apa pun profesinya sepanjang ihsan, tujuannya bekerja Lillahi Ta'ala. Misalnya bila ia sebagai karyawan, maka ia terus berusaha untuk bekerja dengan baik tidak memperdulikan apakah pekerjaannya diawasi oleh atasan atau tidak. Sebab Nabi SAW bersabda : "Sebaik-baiknya pekerjaan adalah pekerjaan seorang pekerja yang melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya (professional)", (HR. Ahmad). Imam Ghazali memberikan tafsiran professional tersebut sebagai bentuk ketelitian, tanggung jawab, jauh dari unsur penipuan, kerja tidak seenaknya serta menepati hak-hak dan kepentingan pihak lain.

Lalu apa ciri karyawan yang tidak ikhlas itu? Ali bin Abi Thalib yang dikenal sebagai seorang ilmuan tersohor di zaman Rasulullah SAW itu memberikan empat cirinya. Kata beliau: "Malas jika tidak ada orang, giat jika di muka umum, bertambah amal jika dipuji dan menguranginya jika di cela". Seorang bijak berkata: "Seharusnya seorang Karyawan itu mencontoh perilaku gembala kambing. Pengembala Kambing jika shalat siang hari ditengah-tengah kambingnya, sekali-kali tidak mengharap pujian dari kambing-kambingnya. Demikian pula seorang karyawan seharusnya tidak menghiraukan apakah dilihat atasan atau tidak". Wallahualam**

Ikhlas (bagian 1)

Siang itu di pertigaan UIN Sunan Kalijaga, Timoho, Yogyakarta panas sekali.Seperti biasa ada tangan-tangan kecil yang mengetuk kaca mobil. Sembari membuka laci yang biasanya berisi uang recehan, saya juga membuka kaca pintu. Aduh, ternyata uang recehan saya sudah habis dan yang tersisa tinggal lembaran seribuan. Telanjur malu sudah membuka kaca pintu dan tidak enak menolak anak kecil itu maka saya memberikan uang seribu tersebut.

Sepanjang jalan pulang selepas pertigaan itu pikiran saya masih selalu tertuju kepada kejadian tadi. Terasa ada yang ‘salah’ pada saya ketika itu. Bukan mengenai uang seribu yang telah saya berikan, akan tetapi adalah motif saya ketika memberikan uang tersebut. Apakah saya sudah ikhlas ya memberi uang tersebut atau hanya karena malu saja untuk menolak anak kecil itu maka saya memberikan uang tersebut Kalau saya tidak ikhlas kerugian saya sudah ganda. Pertama duit saya sudah lenyap, kedua amalan saya itu tidak diterima olehNya.

Saya jadi teringat kejadian sekitar 10 tahun silam. Saya mempunyai teman kost yang juga seorang dai muda dari UIN Sunan Kalijaga. Setiap kali diminta untuk memberi ceramah dia pasti akan berkata bahwa tarif dia minimal 10 ribu. Suatu ketika saya memprotes kebiasaan temen saya itu.
”Abang gimana sich, dakwah kok selalu minta tarif ?” semprot saya.
”Emang kenapa ?” jawabnya dengan tenang.
”Abang pasti lebih tahu daripada saya. Yang namanya dakwah Bang, harus ikhlas.Artinya kalo dakwah mbok ya tidak usah minta tarif. Kalaupun nanti Abang mendapat uang itu bukan karena Abang memintanya tapi ya karena mereka ikhlas ngasih ke Abang.”
”Sebelum kamu protes, sebelum kamu lebih marah-marahin saya, ntar kamu lihat dulu dech apa yang saya akan lakukan dengan uang itu. Setelah kamu tahu ntar kamu bisa ngomong apakah saya ikhlas atau tidak. Ok ?”

Saya pegang janjinya. Saya amati apa yang dia lakukan. Ternyata teman saya ini benar-benar serius menyiapkan materi dakwahnya. Berbagai sumber bacaan dia masukkan, acapkali dia juga mencari materi tambahan ke internet. Materi dakwahnya juga kemudian dia copy-kan dengan uang dia sendiri. Setelah saya hitung-hitung sendiri, uang tarif dia ternyata tidaklah mencukupi untuk menyiapkan materi dakwahnya. Terakhir, saya juga harus mengakui bahwa kualitas ceramahnya memang sangat baik berkat persiapan yang dia lakukan.
”Gimana, Ndra, masih mau protes ?” katanya dengan tersenyum.
”Ya nggak sich Bang, tapi bukankah sebaiknya ga usah minta tarif, kan kesannya gimana gitu..”
”Sebenarnya begini Ndra..Abang ingin kita semua berkorban dalam perjuangan di jalan Allah. Jangan hanya karena alasan takut nanti Ustadznya tidak ikhlas maka kita dengan sembarangan tidak memberinya imbalan atas hasil jerih payahnya. Setiap kali mereka harus memikirkan agama, memikirkan kebaikan umat, mosok kita tidak peduli dengan mereka ?”
”Jadi Abang sudah ikhlas nich bayaran dakwah tadi lebih kecil dari pengeluaran Abang ?” canda saya.
”Abang hanya bisa berusaha Ndra. Biarlah segala sesuatunya kita serahkan kepada Allah SWT. Hanya Dia-lah yang bisa menilai mengenai kualitas amal hambanya. Begitu, Ndra ?”
”Ok dech, Bang...”

So, ikhlas itu apa donk ?

DIET

Saya mempunyai dua teman perempuan yang selalu rewel tentang berat badan (BB) tubuhnya alias selalu merasa kegemukan. Baru-baru ini untuk lebih memotivasi diri, mereka sepakat untuk ‘taruhan’ diet, siapa yang lebih banyak turun BB-nya dalam waktu sebulan maka yang kalah wajib mentraktir yang menang. Yang paling untung dari taruhan itu tentu saya, karena untuk menjamin keobjektifan taruhan itu saya ditunjuk sebagai wasit. Siapapun yang menang dalam taruhan itu tidak masalah bagi saya karena saya pasti ikut ditraktir.

Bicara tentang diet saya jadi teringat kepada nyonya saya. Sama seperti temen saya dia juga merasa sudah tidak mampu mengontrol BB-nya.. Memang harus saya akui semenjak hamil BB-nya naik drastis, dan paska melahirkan penurunan BB-nya tidaklah signifikan. Walhasil diapun selalu cemberut kalo sedang mematut-matut dirinya di depan cermin.

Berulangkali dia sudah merayu saya agar diperbolehkan untuk ikut senam aerobic ataupun body language. Saya si bukannya tidak memperbolehkan, akan tetapi saya malas untuk mengantarnya ke tempat senam apalagi kalo diminta menunggu. Wuiihh ogah dah..!! Tentu saja saya tidak mungkin mengatakan alasan ini karena pasti dia tidak mau menerimanya. Saya selalu mengajukan alasan yang dia sulit menolaknya yaitu tak lain tak bukan adalah anak. Kasihan si kecil, kamu toh sudah kerja, waktu kamu sudah terbatas, masak kamu masih tega ninggalin dia hanya buat senam? Begitu saya biasa ngomong ke dia. Kalo sudah memakai alasan ini nyonya sudah tidak bisa berkutik.

Kadangkala saya berpikir mengapa ya kebanyakan perempuan selalu merasa bahwa mereka sudah overweight? Banyak diantara temen-temen perempuan saya merasa begitu padahal dimata lahiriah saya mereka masih oke-oke saja. Yang lebih parah lagi (menurut saya) mereka akan berusaha dengan segala cara agar BB mereka turun ke BB ideal. Masih tidak apa-apa kalau mereka dalam proses penurunan BB itu dapat menikmatinya, tetapi banyak juga yang mengeluh, berkeluh kesah dan terlihat ‘tersiksa’ sekali. Saya jadi heran kok mau ya mereka bersusah-susah tidak ‘menikmati hidup’ hanya untuk terlihat lebih kurus, lebih langsing. Apa si hebatnya jadi langsing? Saya yang dari kecil ditakdirkan untuk langsing ga pernah tuh merasa hebat, hehehe…

Seorang arif pernah berkata bahwa ini adalah akibat ‘kesuksesan’ dunia barat tentang pencitraan bagaimana seharusnya seorang perempuan itu. Seorang perempuan belumlah sempurna kalau dia tidak cantik, berkulit putih, bermuka halus,dan bertubuh langsing. Hal ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari hari, misalnya banyaknya iklan-iklan tentang produk kecantikan wanita. Segala kegiatan pemilihan Ratu, Putri atau Miss yang kerap diselenggarakan pasti kriterianya tidak jauh-jauh dari penampilan fisik perempuan seperti di atas. So, ketika semua kategori wanita sempurna itu sudah merasuk dalam dunia wanita maka tidaklah aneh kalo para wanita itu bersusah payah agar pas dengan kategori-kategori tersebut.

Kembali ke diet, apakah cara diet yang terbaik? Bagi saya sebenarnya sederhana saja. Pertama, cobalah tiru kebiasaan sang Uswatun Hasanah, Nabi Muhammad Saw. Beliau selalu makan ketika sudah lapar dan selalu berhenti makan ketika sebelum kenyang. Beliau juga membagi isi perut dalam tiga bagian, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiga sisanya untuk udara. Kedua, selalu terima (baca: cintai) keadaan diri anda seperti apa adanya. Kita boleh berusaha diet keras akan tetapi kalau hasilnya tidak sesuai ya tidak usah marah, tidak usah kesal, santai aja. Bukankah kita ini adalah makhluk yang sempurna (ahsanu taqwim)?

Yang jelas saya sudah tidak sabar menunggu sebulan lagi ditraktir temen saya yang kalah taruhan itu. Siapa ya yang kira-kira akan menang?

Selamat Datang Pahlawan…

Salah satu kebiasaan saya akhir-akhir ini di Jogja adalah nongkrong di bandara Adi Sucipto. Hal ini bukan karena saya adalah businessman yang punya janji temu dengan para kolega di bandara akan tetapi semata-mata karena saya termasuk tipe suami SIAGA (siap antar jaga). Ya, saya harus mengantar nyonya saya yang kebetulan ’ngantor’ di bandara. Sejak dibukanya rute penerbangan Jogja-Kuala Lumpur maka sejak itu pula nyonya saya jadi sering piket di bandara.

Anda pasti sudah bisa menduga tipe penumpang seperti apa yang datang dari Kuala Lumpur. Selain beberapa turis dan pengusaha maka kebanyakan penumpangnya adalah saudara-saudara kita yang sudah lama merantau ke negeri jiran sana. Hilir mudik para TKI-TKW itu yang menjadi santapan mata saya selama kurang lebih 1-1,5 jam di bandara.

Gaya berpakaian para TKW itu bermacam-macam. Ada yang tetap sederhana, menjunjung tradisi. Ada yang berpakaian super ketat yang pasti bikin ’blingsatan’ majikannya di sana. Ada pula yang berpakaian trendi ala barat lengkap dengan aksesoris kaca mata hitam, sepatu berhak super tinggi. Gaya ngomongnyapun beragam. Ada yang tetap santun, tetapi banyak pula yang nyerocos kayak orang luar negeri. Terus terang kadang saya merasa geli melihat semua itu.

Sebutan bagi mereka — pinjam istilah dari para pejabat adalah pahlawan devisa. Mereka memang pulang kampung menguras uang dari luar negeri untuk sumbangan kepada devias negara. Tapi tidak seperti layaknya pahlawan — misal pahlawan olah raga yang selalu dijemput oleh para pejabat dan pengurus teras induk olah raga, mereka sepi dari kehadiran para pejabat. Yang menjemput mereka ya keluarga mereka sendiri. Sering terlihat adegan yang mengharukan ketika para TKW itu bertemu keluarganya, apalagi kalau ada TKW yang memeluk anak-anaknya yang mungkin sudah lama sekali tidak pernah mereka lihat. ”Terbuat dari apa hatimu mbak, sehingga sanggup menanggung rindu berkepanjangan tidak bersua dengan anak,” begitu suara hati saya membatin. Saya sendiri tidak bisa membayangkan apabila dipisah dengan anak semata wayang saya untuk jangka waktu yang lama, apa ya saya sanggup?

Saudara-saudara kita yang berhasil pulang ini mungkin termasuk para pekerja yang beruntung. Sering kita dengar dan kita baca mengenai nasib TKW kita di Malaysia yang sangat mengenaskan.Ada yang disiksa majikannya, ada yang dikejar-kejar oleh Polisi Diraja Malaysia,ada yang dipenjara, bahkan ada yang mendapat ancaman hukuman mati. Yang lebih mengenaskan fungsi negara yang salah satunya adalah untuk melindungi segenap rakyat Indonesia seringkali gagal dilaksanakan. Boro-boro melindungi, untuk mengetahui berapa jumlah sebenarnya dari para TKI di luar negeri, negara ini juga masih mengalami kesulitan. Praktek TKI gelap juga semakin memperkeruh permasalahan yang ada. Masih banyak lagi kesulitan dari para TKI. Pemungutan liar datang justru dari pihak yang berkewajiban dan diupah untuk menangani nasib TKI ini.

Padahal peran TKI ini di luar negeri tidaklah kecil. Mereka yang bekerja di pabrik-pabrik secara langsung berarti ikut mendorong pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Mereka yang bekerja di sektor rumah tangga, sangat ampuh berperan sebagai ibu asuh yang kadang melebihi peran ibu kandungnya sendiri. Bisa dibayangkan ibu kandung anak-anak itu yang sibuk kerja palingan hanya sanggup beberapa sendok menyuapi anak mereka, sementara para TKI — karena telaten mengikuti kemanapun anak itu bergerak, pasti akan lebih sukses dalam memasukkan makanan ke perut anak asuhnya. Dan bukan tidak mungkin terjadi transfer nilai selama TKI itu mengasuh sang anak. Bisa dikatakan TKW kita ikut menyumbang nilai peradaban pada generasi kecil tempat mereka bekerja.

Semakin direnungkan, saya semakin kagum pada mereka. Ditengah segala keruwetan yang ada mereka masih mampu bekerja dengan baik. Untuk saudara-saudara saya yang pulang via Jogja, saya hanya bisa berucap:
”Selamat datang pahlawan”.

Antara Burung Emprit dan Kucing

Di depan rumah saya terdapat pohon mangga yang cukup rindang daunnya. Mungkin karena faktor rindang daunnya itu maka pohon itu menjadi favorit bagi burung-burung emprit untuk membuat sarang, bertelur dan membesarkan anak-anak mereka. Setiap pagi suara riang celotehan burung-burung emprit yang ga karuan itu cukup menjadi penghibur bagi jiwa saya.

Pagi menjelang siang seekor burung emprit turun ke halaman rumah saya. Mungkin dia sedang mencari makanan untuk kemudian nanti akan disuapkannya ke anak-anaknya. Saya sedang tidak ada kerjaan, entah kenapa saya jadi tertarik untuk mengamati burung itu. Saya perhatikan terus burung itu, hingga kemudian sesuatu yang bergerak di balik batang pohon mangga menarik perhatian saya. Seekor kucing dengan mengendap-endap perlahan-lahan mulai mendekat ke arah burung emprit. Dari cara matanya yang mengawasi burung itu tanpa berkedip sudah dapat dipastikan bahwa ia bermaksud untuk memangsa burung emprit itu.

Sontak saya berdiri. Ini tidak boleh terjadi! Burung emprit itu harus diselamatkan. Bagaimana donk dengan anak-anaknya kalau ia sampai mati? Pasti anak-anaknya akan merana dan telantar, mungkin akan mati pula. Begitu saya mengambil keputusan itu maka saya bersiap-siap untuk menggagalkan rencana si kucing. Ketika kucing itu semakin dekat dan rasanya akan langsung membuat gerakan menerkam maka saya bertepuk tangan menggebah burung emprit itu. Burung emprit itu kaget, langsung ia terbang ke arah pohon mangga. Si kucingpun kaget, kesal buruannya lenyap. Sekejap ia melontarkan pandangan tajam ke arah saya, lalu berbalik pergi.

Sukurin loe, kucing! kata batin saya puas. Salah sendiri elo ngincer burung yang lagi nyari makan buat anaknya, kalau yang elo incer tikus, kan pasti ga akan gue ganggu, tambah batin saya. Masih tetap lapar kan elo? Mau nyari makan di mana lagi elo? Gimana anak-anak elo....heiii...tiba-tiba ada sesuatu yang menyentak batin saya. Si kucing tadi punya anak yang masih perlu disusui apa tidak ya? Kalau punya gimana dengan anak-anaknya ya, karena tadi ikhtiar induknya mencari makan sudah saya gagalkan. Waduh, saya jadi merasa bersalah. Tenang Ndrong, kucing tadi belum tentu punya anak kok, jadi kamu tidak begitu salah, sisi batin saya yang lain berkata. Ya tetap salah dong, kucing tadi ngincer burung emprit karena dia sudah lapar, bukan rakus. Kucing itu hanya mengikuti instingnya aja. Kamu kok jadi begitu sembrono mencegah kucing mendapatkan apa yang memang menjadi haknya, kamu tidak adil!

Nah, itu dia. Peperangan dalam batin saya akhirnya mendapatkan intinya yaitu masalah keadilan. Ketika melihat kejadian burung emprit akan dimangsa kucing, secara intuitif saya mencegah hal itu. Dalam alam bawah sadar yang memotivasi tindakan saya itu, saya beranggapan bahwa perbuatan saya sudah adil. Sudah selayaknya pihak yang lemah (burung emprit) dilindungi dari pihak yang kuat (kucing), apalagi dalam kondisi burung emprit itu sedang punya anak. Akan tetapi kalau dilihat lebih jauh ternyata tindakan saya mungkin tidak adil juga terutama dilihat dari sudut pandanng si kucing. Kucing mau memangsa burung emprit karena lapar. Hukum alam memang sudah mengatur bahwa burung emprit memang masuk dalam kategori makanan kucing, jadi apa salah kucing kalau ia mau menerkam burung emprit? Wong itu sudah haknya kok!

Yah, keadilan memang bersifat relatif. Adil menurut saya belum tentu adil bagi orang lain. Adil bagi suatu golongan, suatu bangsa belum tentu adil pula menurut golongan atau bangsa lain. Untuk mengatasinya maka dibuatlah hukum dalam bentuk undang-undang (UU). Tapi karena hukum itu hanya ciptaan manusia maka iapun tidak bisa merengkuh rasa adil dari semua pihak. Apalagi kalau pasal-pasal dari undang-undang bisa diinterpretasikan macam-macam, semakin kacaulah produk hukum itu.

Lalu adil yang benar-benar adil itu seperti apa? Saya tidak tahu. Yang saya tahu dan saya percaya sepenuhnya adalah Allah Swt, Dzat Yang Maha Adil. Dia tidak pernah tidur, tidak pernah alpa mencatat semua kebaikan dan keburukan yang diperbuat hambaNya. Jadi kelak semua akan memperoleh balasan dari apa yang sudah diperbuatnya selama di dunia. Ketika itulah keadilan sejati akan datang kepada semua pihak.

Expert System

Pada saat ini banyak orang yang berkata bahwa Indonesia sedang mengalami krisis kepemimpinan. Semakin terpuruknya negara yang kaya akan hasil alam ini oleh krisis multidimensi disebut-sebut salah satu penyebabnya adalah karena pemimpin yang tidak cakap. Benarkah demikian? Bukankah ada kata-kata bijak bahwa seorang pemimpin adalah cerminan dari orang-orang yang dipimpinnya, jadi kalau pemimpinnya tidak cakap ya karena orang-orang yang dipimpinnya tidak berkualitas.

Ah, saya tidak akan berpolemik mengenai hal itu. Baik buruk para pemimpin kita itu perlu disikapi secara objektif. Melalui tulisan ini saya ingin kita semua belajar dari pemimpin-pemimpin kita tersebut.

Dalam bidang teknologi informasi dikenal suatu sistem informasi yang disebut dengan expert system. Secara ringkas, expert system adalah sistem berbasis pengetahuan dari para pakar yang bisa menyediakan ide-ide dari para pakar dan bertindak seperti konsultan bagi penggunanya. Jadi di sini pendapat para pakar/ahli (misal CEO perusahaan) dikelola, direkam dan dijadikan semacam arahan dalam mengatasi suatu permasalahan bisnis. Diharapkan dari expert system ini akan menjadikan perusahaan tersebut mempunyai daya saing tersendiri.

Saya kemudian berandai-andai sekiranya pengetahuan dan pengalaman dari para pemimpin negara kita ini bisa dikelola layaknya expert system tersebut. Menurut saya segala pengalaman, kelebihan, keberhasilan maupun kegagalan (dalam konteks situasi kala dia memimpin) dari para pemimpin kita dapat dijadikan pelajaran yang bagus terutama bagi para calon pemimipin dimasa datang. Tentu saja kalau dilakukan seperti expert system sudah tidak memungkinkan lagi karena terdapat beberapa pemimpin kita yang sudah wafat. Sudahlah kita tidak usah terlalu muluk-muluk dengan expert system tapi bisa kita lakukan dengan membuat semacam perpustakaan khusus tentang pemimpin-pemimpin tersebut. Segala data ataupun informasi tentang kelebihan-kekurangan, keberhasilan-kegagalan pada bidang-bidang tertentu dibuat oleh sebuah tim yang terdiri dari para pakar-pakar dibidang tersebut. Sebagai contoh keberhasilan-kegagalan dibidang politik dibuat oleh tim yang terdiri dari pakar-pakar politik, keberhasilan–kegagalan dibidang ekonomi dibuat oleh pakar-pakar dibidang ekonomi. Apabila ada ketidaksepakatan diantara para pakar-pakar tersebut tentang sesuatu hal maka ketidaksepakatan tersebut tetap harus ditambahkan dalam data-data yang ada. Saya kira dengan adanya hal ini akan menambah wawasan bangsa ini tentang pemimpinnya. Bagi seorang calon pemimpin maupun pemimpin yang sekarang berkuasa bisa mengambil pelajaran yang cukup lengkap tentang pemimpin-pemimpin terdahulu.

Cukup menarik bukan? Dalam bayangan saya akan banyak informasi yang bisa diperoleh seperti misalnya di bawah ini (sengaja yang saya tampilkan adalah hanya sisi positif dari pemimpin kita)
Bung Karno (BK)
Keberhasilan BK yang paling mencolok adalah mampu mengantarkan bangsa ini meraih kemerdekaannya. Semasa pemerintahan beliau jiwa nasionalisme bangsa masih sangat tinggi dan bisa dijaga. Mungkin jika beliau masih berkuasa tidak ada MNC yang menguasai sumber daya alam kita secara berlebihan.
Pak Harto
Beliau bisa mengatasi krisis ekonomi dalam waktu relatif singkat. Pada masa ini mulai diperkenalkan model pembangunan secara bertahap. Swasembada beras juga pernah dicapai dalam masa pemerintahan beliau.
Habibie
Masa pemerintahan beliau sangat singkat. Kebebasan pers mulai diperkenalkan. Beliau juga sanggup menurunkan nilai tukar rupiah yang pernah sangat terpuruk.
Gus Dur
Kebebasan pers mencapai puncaknya pada masa ini. Istana Negara seolah-olah berubah menjadi rumah kedua bagi para jurnalis.
Megawati
Presiden wanita pertama dalam sejarah Indonesia. Beliau juga terkenal sebagai presiden yang irit bicara. William R. Liedle, seorang Indonesianis asal AS pernah mengatakan bahwa Megawati adalah seorang yang pintar.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
Presiden pertama Indonesia yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Sampai saat ini beliau masih memimpin. Prestasi beliau yang yang bisa dicatat adalah tingkat penegakan hukum yang semakin baik. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknnya koruptor yang tertangkap.

Tapi apakah proyek ini visible untuk dilaksanakan? Wallahu’alam…

Teknologi Masa Depan

Suatu saat, dalam kuliah Sistem Teknologi Informasi (STI) dosen saya memutarkan sebuah film singkat yang berisikan tentang teknologi-teknologi yang telah dan akan dicapai pada masa mendatang.

Inti film itu bercerita tentang suatu keluarga di Jepang yang masing-masing anggotanya super sibuk. Dalam kesibukan masing-masing mereka selalu sempat meluangkan waktu untuk berkomunikasi. Banyak teknologi yang dipamerkan dalam film itu, seperti misalnya teleconference, mobil yang tidak perlu disetir secara manual dan masih banyak lagi. Kesimpulan dari film itu adalah teknologi akan mempermudah kehidupan manusia, segala sesuatu akan bisa menjadi lebih praktis.

Sayapun jadi melongo, wow keren banget! Wah enaknya kalo teleconference sudah menyentuh kehidupan saya, tidak perlu ke kampus untuk kuliah, bahkan kerjapun bisa dari rumah (tidak perlu bermacet-macet ria di jalan bukan?) Seandainyapun terpaksa keluar rumah tidak perlu capek-capek menyetir, cukup bilang saja mau kemana dan lewat jalan apa.

Disamping melongo, dalam hati saya bertanya-tanya, sampai kapan ya manusia puas dan merasa cukup akan kemajuan teknologi? Apakah semuanya nantinya bisa digantikan oleh teknologi? Apakah kehidupan manusia nantinya tidak akan menjadi ’garing’ ya mengingat semuanya akan menjadi serba otomatis?

Menjawab pertanyaan itu tidaklah mudah. Secara naluriah, manusia tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang telah diperoleh. Teknologi pasti akan terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan dalam hidup manusia. Untuk merasa cukup, terserah pada pribadi masing-masing orang. Seseorang mungkin tidak tertarik akan kemajuan suatu teknologi karena tidak sesuai dengan kebiasaan atau tradisi dalam hidup ataupun karena dia ingin mencoba kembali ke hal-hal yang lebih bersifat alamiah. Hal ini dapat saya contohkan dalam dua keadaan sebagai berikut:
 Anggap saja teknologi teleconference sudah menyentuh kehidupan banyak rumah tangga. Dengan teknologi ini memungkinkan manusia untuk berkomunikasi dengan melihat tampilan visual lawan bicaranya. Dengan keunggulan seperti itu, semestinya teknologi ini banyak dipakai untuk menggantikan tradisi dalam masyarakat seperti misalnya tradisi mudik saat lebaran. Bukankah saat mudik banyak kendala di perjalanan, seperti jalanan berlobang, macet dll ? Tapi apakah yang terjadi akan demikian? Saya meragukannya. Bagi masyarakat perantau, lebaran tidak akan berasa lebaran kalau tidak merayakannya di kampung halaman, jadi segala hal akan ditempuh untuk bisa mudik. Saya juga tidak bisa membayangkan betapa sedihnya ibu saya jika anak-anaknya tidak mudik dan hanya sungkem melalui teknologi teleconference itu.
 Suatu ketika di masa depan, misalnya, telah ditemukan teknologi genetika yang luar biasa. Dengan teknologi ini seorang wanita tidak perlu hamil untuk mempunyai keturunan. Wanita tersebut cukup menyerahkan sel telurnya untuk dicampur dengan sel sperma suaminya. Hasil percampuran itu nantinya disimpan disebuah tempat khusus yang berfungsi seperti rahim ibu. Kehebatan teknologi genetika ini tidak cukup sampai di sini. Teknologi ini juga memungkinkan sepasang suami istri untuk memilih jenis kelamin dan tampilan fisik seperti apa anak mereka kelak. Mereka dapat menentukan jenis rambut anak mereka, warna kulit, bentuk hidung, mata, mulut dll. Kira-kira apakah semua pasutri akan menggunakan teknologi ini? Susah untuk menjawabnya, akan tetapi saya yakin pasti ada pasutri yang ingin tetap memiliki keturunan dengan cara alami. Sebagai contoh di sini akan saya gambarkan situasi sebagai berikut. Sepasang suami istri berencana memiliki keturunan. Sang istri bersikeras untuk memiliki anak tersebut melalui proses yang alami yaitu hamil dan kemudian melahirkan. Terjadi perdebatan kecil antara pasutri tersebut.
”Apakah kamu sudah yakin untuk hamil, Say ?” tanya si suami.
”Bukan yakin lagi, malahan sangat yakin”. Jawab si istri.
”Hamil itu susah. Perut kamu akan membuncit, berat badan kamu akan membengkak, sedikit-sedikit kamu pengin ke toilet untuk buang air seni, kamu akan cepat capai, mood kamu juga jadi sering berubah. Apakah kamu siap akan hal itu ?’’
”Aku tahu. Aku juga sudah membaca mengenai kebiasaan nenek moyang kita ini. Segala yang kamu katakan tadi benar semua. Tapi Mas, aku ingin merasakan anak kita tumbuh di perutku, aku ingin merasakan denyut jantungnya. Apakah kamu tidak ingin memegang perutku ketika anak kita menendangnya ?”
”Yah, pengin sih..tapi resiko melahirkan itu tinggi sekali, nyawa kamu sebagai taruhannya. Apakah kamu tidak takut ?”
”Seiring anak itu membesar dalam perutku maka perasaan sayangku kepadanya pun akan terus bertambah. Aku yakin Mas, perasaan sayangku itu akan sanggup mengatasi segala perasaan takut dan khawatir saat melahirkan. Lagipula ketika saat itu datang, bukankah ada kamu disisiku ?”
”Oke,oke..tapi bagaimana jika nanti anak itu terlahir tidak seperti dalam bayangan kita? Kalau kita menggunakan teknologi kita lebih bisa mengontrolnya..”
”Jikalaupun itu yang terjadi, apakah kamu tidak akan menyayanginya Mas ?”

Well, bila pasutri itu benar-benar gigih memperjuangkan keinginan mereka, saya bayangkan mereka pasti akan menjadi pusat perhatian karena menjadi pasutri pertama di era teknologi maju tersebut untuk memiliki anak secara proses alami.