Rabu, 16 Juli 2008

Selamat Datang Pahlawan…

Salah satu kebiasaan saya akhir-akhir ini di Jogja adalah nongkrong di bandara Adi Sucipto. Hal ini bukan karena saya adalah businessman yang punya janji temu dengan para kolega di bandara akan tetapi semata-mata karena saya termasuk tipe suami SIAGA (siap antar jaga). Ya, saya harus mengantar nyonya saya yang kebetulan ’ngantor’ di bandara. Sejak dibukanya rute penerbangan Jogja-Kuala Lumpur maka sejak itu pula nyonya saya jadi sering piket di bandara.

Anda pasti sudah bisa menduga tipe penumpang seperti apa yang datang dari Kuala Lumpur. Selain beberapa turis dan pengusaha maka kebanyakan penumpangnya adalah saudara-saudara kita yang sudah lama merantau ke negeri jiran sana. Hilir mudik para TKI-TKW itu yang menjadi santapan mata saya selama kurang lebih 1-1,5 jam di bandara.

Gaya berpakaian para TKW itu bermacam-macam. Ada yang tetap sederhana, menjunjung tradisi. Ada yang berpakaian super ketat yang pasti bikin ’blingsatan’ majikannya di sana. Ada pula yang berpakaian trendi ala barat lengkap dengan aksesoris kaca mata hitam, sepatu berhak super tinggi. Gaya ngomongnyapun beragam. Ada yang tetap santun, tetapi banyak pula yang nyerocos kayak orang luar negeri. Terus terang kadang saya merasa geli melihat semua itu.

Sebutan bagi mereka — pinjam istilah dari para pejabat adalah pahlawan devisa. Mereka memang pulang kampung menguras uang dari luar negeri untuk sumbangan kepada devias negara. Tapi tidak seperti layaknya pahlawan — misal pahlawan olah raga yang selalu dijemput oleh para pejabat dan pengurus teras induk olah raga, mereka sepi dari kehadiran para pejabat. Yang menjemput mereka ya keluarga mereka sendiri. Sering terlihat adegan yang mengharukan ketika para TKW itu bertemu keluarganya, apalagi kalau ada TKW yang memeluk anak-anaknya yang mungkin sudah lama sekali tidak pernah mereka lihat. ”Terbuat dari apa hatimu mbak, sehingga sanggup menanggung rindu berkepanjangan tidak bersua dengan anak,” begitu suara hati saya membatin. Saya sendiri tidak bisa membayangkan apabila dipisah dengan anak semata wayang saya untuk jangka waktu yang lama, apa ya saya sanggup?

Saudara-saudara kita yang berhasil pulang ini mungkin termasuk para pekerja yang beruntung. Sering kita dengar dan kita baca mengenai nasib TKW kita di Malaysia yang sangat mengenaskan.Ada yang disiksa majikannya, ada yang dikejar-kejar oleh Polisi Diraja Malaysia,ada yang dipenjara, bahkan ada yang mendapat ancaman hukuman mati. Yang lebih mengenaskan fungsi negara yang salah satunya adalah untuk melindungi segenap rakyat Indonesia seringkali gagal dilaksanakan. Boro-boro melindungi, untuk mengetahui berapa jumlah sebenarnya dari para TKI di luar negeri, negara ini juga masih mengalami kesulitan. Praktek TKI gelap juga semakin memperkeruh permasalahan yang ada. Masih banyak lagi kesulitan dari para TKI. Pemungutan liar datang justru dari pihak yang berkewajiban dan diupah untuk menangani nasib TKI ini.

Padahal peran TKI ini di luar negeri tidaklah kecil. Mereka yang bekerja di pabrik-pabrik secara langsung berarti ikut mendorong pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Mereka yang bekerja di sektor rumah tangga, sangat ampuh berperan sebagai ibu asuh yang kadang melebihi peran ibu kandungnya sendiri. Bisa dibayangkan ibu kandung anak-anak itu yang sibuk kerja palingan hanya sanggup beberapa sendok menyuapi anak mereka, sementara para TKI — karena telaten mengikuti kemanapun anak itu bergerak, pasti akan lebih sukses dalam memasukkan makanan ke perut anak asuhnya. Dan bukan tidak mungkin terjadi transfer nilai selama TKI itu mengasuh sang anak. Bisa dikatakan TKW kita ikut menyumbang nilai peradaban pada generasi kecil tempat mereka bekerja.

Semakin direnungkan, saya semakin kagum pada mereka. Ditengah segala keruwetan yang ada mereka masih mampu bekerja dengan baik. Untuk saudara-saudara saya yang pulang via Jogja, saya hanya bisa berucap:
”Selamat datang pahlawan”.

Tidak ada komentar: