Rabu, 16 Juli 2008

Ikhlas (bagian 1)

Siang itu di pertigaan UIN Sunan Kalijaga, Timoho, Yogyakarta panas sekali.Seperti biasa ada tangan-tangan kecil yang mengetuk kaca mobil. Sembari membuka laci yang biasanya berisi uang recehan, saya juga membuka kaca pintu. Aduh, ternyata uang recehan saya sudah habis dan yang tersisa tinggal lembaran seribuan. Telanjur malu sudah membuka kaca pintu dan tidak enak menolak anak kecil itu maka saya memberikan uang seribu tersebut.

Sepanjang jalan pulang selepas pertigaan itu pikiran saya masih selalu tertuju kepada kejadian tadi. Terasa ada yang ‘salah’ pada saya ketika itu. Bukan mengenai uang seribu yang telah saya berikan, akan tetapi adalah motif saya ketika memberikan uang tersebut. Apakah saya sudah ikhlas ya memberi uang tersebut atau hanya karena malu saja untuk menolak anak kecil itu maka saya memberikan uang tersebut Kalau saya tidak ikhlas kerugian saya sudah ganda. Pertama duit saya sudah lenyap, kedua amalan saya itu tidak diterima olehNya.

Saya jadi teringat kejadian sekitar 10 tahun silam. Saya mempunyai teman kost yang juga seorang dai muda dari UIN Sunan Kalijaga. Setiap kali diminta untuk memberi ceramah dia pasti akan berkata bahwa tarif dia minimal 10 ribu. Suatu ketika saya memprotes kebiasaan temen saya itu.
”Abang gimana sich, dakwah kok selalu minta tarif ?” semprot saya.
”Emang kenapa ?” jawabnya dengan tenang.
”Abang pasti lebih tahu daripada saya. Yang namanya dakwah Bang, harus ikhlas.Artinya kalo dakwah mbok ya tidak usah minta tarif. Kalaupun nanti Abang mendapat uang itu bukan karena Abang memintanya tapi ya karena mereka ikhlas ngasih ke Abang.”
”Sebelum kamu protes, sebelum kamu lebih marah-marahin saya, ntar kamu lihat dulu dech apa yang saya akan lakukan dengan uang itu. Setelah kamu tahu ntar kamu bisa ngomong apakah saya ikhlas atau tidak. Ok ?”

Saya pegang janjinya. Saya amati apa yang dia lakukan. Ternyata teman saya ini benar-benar serius menyiapkan materi dakwahnya. Berbagai sumber bacaan dia masukkan, acapkali dia juga mencari materi tambahan ke internet. Materi dakwahnya juga kemudian dia copy-kan dengan uang dia sendiri. Setelah saya hitung-hitung sendiri, uang tarif dia ternyata tidaklah mencukupi untuk menyiapkan materi dakwahnya. Terakhir, saya juga harus mengakui bahwa kualitas ceramahnya memang sangat baik berkat persiapan yang dia lakukan.
”Gimana, Ndra, masih mau protes ?” katanya dengan tersenyum.
”Ya nggak sich Bang, tapi bukankah sebaiknya ga usah minta tarif, kan kesannya gimana gitu..”
”Sebenarnya begini Ndra..Abang ingin kita semua berkorban dalam perjuangan di jalan Allah. Jangan hanya karena alasan takut nanti Ustadznya tidak ikhlas maka kita dengan sembarangan tidak memberinya imbalan atas hasil jerih payahnya. Setiap kali mereka harus memikirkan agama, memikirkan kebaikan umat, mosok kita tidak peduli dengan mereka ?”
”Jadi Abang sudah ikhlas nich bayaran dakwah tadi lebih kecil dari pengeluaran Abang ?” canda saya.
”Abang hanya bisa berusaha Ndra. Biarlah segala sesuatunya kita serahkan kepada Allah SWT. Hanya Dia-lah yang bisa menilai mengenai kualitas amal hambanya. Begitu, Ndra ?”
”Ok dech, Bang...”

So, ikhlas itu apa donk ?

Tidak ada komentar: